BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sosial budaya,
kondisi individu akan dapat langsung menimbulkan permasalahan pada diri
individu. Perasaan yang terancam, kompetensi yang mentok, aspirasi yang
terkungkung, semangat yang layu, dan kesempatan yang terbuang sia – sia akan
menimbulkan permasalahan dalam berkehidupan sehari – sehari. Masing – masing
permasalahan yang timbul itu merupakan gatra – gatra, baik besar maupun kecil,
masing – masing gatra permasalahan itu dapat dikaitkan pada masidu, likuladu,
dan pancadaya yang ada dan penuh diperoleh individu, serta terkait pada lirahid
yang hidup dilingkungan individu tersebut.
Disamping itu perlu dipahami
bahwa masing-masing gatra permasalahan itu saling berinteraksi dan dinamis.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa suatu permasalahan yang dialami individu
bersifat kompleks dan among. Kekompleksan permasalahan itu lebih lagi diwarnai
oleh dinamika dan saling berinteraksinya unsure pancadaya, likuladu, masidu,
dan lirahid.
Kewaskitaan konselor selain
mengacu kepada kelima faktor yang mempengaruhi perkembangan dan kehidupan
individu, juga mengacu kepada lima proses dalam kegiatan konseling melalui
pendekatan / teori dan teknik – tekniknya. Lima proses dalam kegiatan konseling
tersebut antara lain pengantaraan (introduksi), penjajakan (investigasi),
penafsiran (interpretasi), pembinaan (intervensi), penilaian (inspeksi), dan
Penggunaan waktu dan intensitas (Volume). Itulah pancawaskita dimana
kewaskitaan yang didalamnya terkandung lima faktor yang akan menjadi andalan
bagi keberhasilan konselor.
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang
diatas maka pada rumusan masalah ini akan membahas tentang:
1. Siapakah
tokoh konseling pancawaskita?
2. Apa konsep dasar dari konseling
pancawaskita?
3. Apa saja asumsi perilaku bermasalah dari
konseling pancawaskita?
4. Apa tujuan dari konseling pancawaskita?
5. Bagaimana peran konselor dalam konseling
pancawaskita?
6. Bagaimana deskripsi proses konseling
pancawaskita?
7. Apa saja teknik-teknik dalam proses
konseling pancawaskita?
8. Apa saja kelebihan dan keterbatasan
konseling pancawaskita?
9. Bagaimana aplikasi dan penerapan nya?
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini,
penulis bertujuan untuk:
1. Mengetahui tentang pengertian
Pancawaskita.
2. Memahami tentang hakekat kepribadian dari
pancawaskita.
3. Mengetahui tentang pengertian Gatra.
4. Memahami tentang hakekat manusia dari
pancawaskita.
5. Mamahami tentang tingkah laku dan
kepribadian dari pancawakita itu.
6. Mengetahui dan memahami tentang ciri – ciri
dari inti pengentasan masalah yang ada pada kemandirian individu.
7. Memahami tentang macam – macam proses
kegiatan konseling.
8. Memahami tentang teknik – teknik proses
kegiatan konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tokoh Utama
1. Tokoh Utama dalam Pancawaskita
Prof. Dr. H. Prayitno, MS. lahir
di Sidareja ( Kabupaten Cilacap) 21 Desember 1940, adalah Guru Besar dalam
bidang bimbingan dan konseling (BK) pada fakultas ilmu pendidikan (FIP)
Universitas Negeri Padang (UNP-dahulu IKIP Padang) yang telah puluhan tahun
telah berkecimpung dalam pendidikan calon tenaga pembimbingan atau konselor dan
praktik pelayanan BK, baik untuk siswa maupun warga masyarakat pada umumnya.
Setamatnya sebagai sarjana
jurusan BK (dahulu bimbingan dan penyuluhan) IKIP Bandung tahun 1965. Beliau
menjadi dosen IKIP Bandung. Kemudian hijrah dan menjadi dosen IKIP Padang
(sejak 1966) dan memegang sejumlah jabatan antara lain Ketua jurusan BK; Dekan
FIP IKIP; Direktur sekolah Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP); Guru
pembimbing Senior; Anggota Tim Nasional Bimbingan dan penyuluhan PPSP.
Sementara itu beliau melanjutkan studi di Macquire University, Sydney
(Australia) serta di Indiana University (Amerika Serikat) untuk memperoleh
gelar master (1978) dan doktor (1980), keduanya dalam bidang BK.
Selanjutnya beliau mendirikan dan
menjadi ketua Unit Pelayanan Bimbingan dan Konseling (UPBK) IKIP Padang (1986).
Kemudian beliau menjabat lagi sebagai Dekan FIP IKIP Padang (1989 - 1996);
penanggung jawab konsultan akademik penataran BK bagi guru – guru pembimbing
SLTP/SLTA SELURUH Indonesia di PPPG Keguruan jakarta (1993 - sekarang); Ketua
Tim Pengembang Nasional Student Support Service (3S) dan Carier Planning
Development (CPD) untuk mahasiswa 30 LPTK Negeri seluruh Indonesia (1996-
sekarang); ketua program BK pasca sarjana UNP (1995 - sekarang).
Dalam organisasi profesi BK,
yaitu Ikatan petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) beliau pernah menjabat
komisaris IPBI Daerah Sumatra bagian tengah dan selatan dan sebagai ketua umum
pengurus besar (1991 – sekarang).
B. Konsep Dasar
Konseling Pancawaskita disingkat
(KOPASTA). Konseling Pancawaskita merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam
konseling dengan memadupadankan teori konseling (Eklektik). Kopasta menitik
beratkan pada wawasan Pancawaskita. Pancawaskita mengintegrasikan lima faktor
yang mempengaruhi individu yaitu:
a. Pancasila.
b. Lirahid (lima ranah kehidupan)
c. Panca daya ( Takwa, Cipta, Rasa,
Karsa, Karya)
d. Masidu (lima kondisi yang ada pada diri
individu) yang terdiri dari (rasa aman, kompetensi, aspirasi, semangat,
pengunaan kesempatan)
e. Likuladu (lima kekuatan diluar
individu) yang terdiri dari (gizi, pendidikan, sikap, perlakuan orang lain,
budaya dan kondisi insidensial)
Dalam sejarahnya KOPASTA
dikembangkan sebagai salah satu pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan
konseling perorangan, para konselor diharapkan dapat menguasai pendekatan ini
sebagai salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam penyelenggaraan konseling
perorangan.
Konselor profesional dituntut
mengintegrasikan lima faktor yang mempengaruhi perkembangan dan kehidupan
individu yaitu pancasila, pancadaya ( Takwa, Cipta, Rasa, Karsa, Karya), lirahid/ lima ranah kehidupan ( Jasmanah-rohaniah, social-material,
Spiritual dunia, akherat, lokal-global/universal), lika lidu/ lima kekuatan di
luar individu( gizi, pendidikan, sikap, perlakuan orang lain, budaya dan
kondisi insidensial) , dan masidu/lima kondisi yang ada pada diri individu(
rasa aman, kompetensi, aspirasi, semangat, pengunaan kesempatan). Pengaruh
faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan secara cermat dan dilakukan pembinaan
melalui konseling sehingga perkembangan dan kehidupan individu menjadi lebih
membahagiakan. Kebahagan ini akan menjelma melalui kehidupan individu yang
mandiri
Ditilik dari isinya konseling
merupakan proses membangun pribadi yang mandiri. Sebelum seorang konselor
membangun hal itu, terlebih dahulu ia perlu membangun pribadinya yang mandiri
terlebih dahulu. Konselor yang mandiri itu akan mampu dari segi teknis dan
psikologisnya menyelenggarakan konseling eklektik dengan wawasan pancawaskita.
Waskita merupakan sifat yang terpancar dari kiat dan kinerja yang penuh dengan
keunggulan semangat disertai dengan :
1. Kecerdasan, bahwa konseling adalah
pekerjaan yang diselenggarakan atas dasar teori dan teknologi yang tinggi serta
pertimbangan akal yang jernih, matang dan kreatif.
2. Kekuatan, bahwa konselor adalah
pribadi yang tangguh baik dalam keluasan dan kedalaman wawasan berfikirnya,
pengetahuan serta keterampilannya, maupun dalam kemauan dan ketekunannya dalam
melayani kliennya.
3. Keterarahan, bahwa kegiatan konseling
berorientasi kepada keberhasilan klien mengoptimalkan perkembangan dirinya dan
mengatasi permasalahanya.
4. Ketelitian, bahwa konselor bekerja
dengan cermat dan hati-hati serta berdasarkan data dalam memilih dan menerapkan
teori dan teknologi konseling.
5. Kearif bijaksanaan, bahwa konselor
dalam menyikapi dan bertindak didasarkan pada peninjauan dan pertimbangan yang
matang, kelembutan dan kesantunan terhadap klien dan orang lain pada umumnya
sesuai dengan nilai moral dan norma-norma yang berlaku serta kode etik
konseling.
Itulah panca waskita ,
kewaskitaan yang didalamnya terkandung
lima faktor yang akan menjadi andalan bagi keberhasilan seorang
konselor.
1. Hakekat Keberadaan
Dunia dan alam semesta dipenuhi
oleh serba keberadaan. Sebutlah sesuatu, maka sesuatu itu adalah sebuah
keberadaan. Keberadaan terbentang dari yang paling kasat mata dan teraba
(konkrit) sampai yang paling khayal dan termaya (abstrak) serta gaib; dari yang
paling besar sampai yang paling kecil, dari yang paling sederhana sampai yang
tak terhingga, dan dari yang ada sampai tidak ada.
Dalam kedinamisan keberadaan
sepanjang zaman, dua jenis keberadaan amatlah penting, yaitu keberadaan yang
sedang ada (KSA) dan keberadaan yang mungkin mengada (KMA). KSA terwujud dalam
kesadaran seseorang, sedangkan KMA merupakan dunia kemungkinan. Jika KSA
merupakan suatu titik yang sedang dijangkau oleh seseorang pada suatu saat,
maka KMA merupakan daerah yang masih berada di luar jangkauannya, tetapi ada
kemungkinan untuk dijangkaunya.
Sesuatu yang berasal dari KMA
dapat menjelma menjadi KSA, dan KSA dapat surut ke daerah keberadaan yang
pernah ada (KPA). Adalah sangat dimungkinkan KPA muncul kembali ke dalam KSA.
Untuk itu KPA terlebih dahulu masuk ke daerah KMA.
Baik KSA maupun KMA mempunyai
peluang dan keterbatasan. Didalam kekuasaan Tuhan Yang Maha Mencipta kesadaran
manusia tentang peluang dan keterbatasan KSA bersifat manusiawi yang ditentukan
oleh unsur – unsur ruang dan waktu serta unsur – unsur kondisional. Sedangkan
peluang dan keterbatasan KMA bersifat “abadi”. Peluang dan keterbatasan KMA
berada diluar jangkauan dan kemampuan manusia; semuanya itu sepenuhnya berada
di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
2. Gatra
Keberadaan merupakan sesuatu yang
penuh arti. Sesuatu yang penuh arti disebut gatra. Dalam dirinya sendiri gatra
itu mengandung arti tertentu. Disamping itu, arti suatu gatra dapat pula
diberikan dari luar, yaitu yang diberikan atau dibentuk oleh orang – orang yang
berusaha menghayati dan / atau mendayagunakan gatra itu. Arti dari dalam (ADD) suatu gatra bersifat amung
dan demikianlah adanya (unik dan objektif), sedangkan arti yang diberikan dari
luar (ADL) bersifat lentur.
Meskipun ADD sudah ada dengan
sendirinya di dalam gatra, namun ADD itu tidak selalu dengan sendirinya tampak
atau menampilkan diri. Bahkan seringkali terjadi ADD justru tersembunyi dan
menunggu pengungkapan itu memerlukan usaha dan amat tergantung pada
pengetahuan, kemampuan, dan kemauan orang yang bersangkutan. Berbeda dengan ADD
yang bersifat menetap itu, ADL dapat “dibawa” ke mana saja oleh si pemberi
arti, sehingga terkesan bahwa ADL bersifat seperti karet, direntang bisa
panjang, disingkat bisa pendek; diangkat bisa tinggi, dibatasi bisa rendah;
digali bisa dalam, ditimbun bisa dangkal; dibelok-belokkan ke mana pun bisa.
Seperti pengungkapan ADD, ADL pun amat tergantung pada pengetahuan, kemampuan
dan kemauan orang yang member arti terhadap gatra yang dimaksudkan.
Sifat keberadaan gatra adalah
seperti sifat – sifat keberadaan benda pada umumnya. Ada yang “padat”, artinya
bentuk dan isinya lebih pasti dan tidak mudah diubah; ada yang “cair”, artinya
bentuk dan isinya mudah berubah; ada pula yang ibarat “gas” artinya bentuk,
isi, dan kepadatannya amat mudah berubah, mengembang dan menguap. Demikian juga
“warna” gatra. Ia dapat berwarna tunggal ataupun berwarna – warni bagai pelangi,
ataupun kabur, buram, atau tanpa warna sama sekali.
ADD dan ADL suatu gatra tidak
selalu sama, melainkan justru seringkali tidak bersesuaian, bahkan
bertentangan. Keserasian antara ADD dan ADL suatu gatra akan mewujudkan
kesatuan, kebulatan dan kemantapan arti dari gatra yang dimaksudkan.
Sebaliknya, jika keserasian antara ADD dan ADL timpang, atau bahkan
bertentangan, maka akan terjadi kesalahartian dengan berbagai akibatnya.
KSA (keberadaan yang sedang ada
dalam sebuah gatra) yang ada pada diri klien dianalisis serta diberi suasana
dan perlakuan – perlakuan khusus sehingga KMA (keberadaan yang mungkin ada
dalam sebuah gatra) yang menguntungkan dan membahagiakan klien menjadi
terwujud. Dengan penggatraan gatra dalam proses konseling itu klien
dimungkinkan untuk berkembang menuju kemandiriannya.
3. Hakekat Manusia
Manusia adalah suatu keberadaan
dalam alam semesta ini; sebuah gatra. Berbeda dari gatra – gatra lain yang
bukan manusia, ADD dan ADL pada manusia dapat diberi ciri berikut:
1. ADD sangat bervariasi antara individu yang
satu dengan individu lainnya; individu dapat memahami ADD-nya sendiri.
2. Selain dapat memberikan ADL kepada gatra –
gatra di luar dirinya, manusia pun dapat memberikan ADL kepada dirinya sendiri.
3. Antar sesama individu atau sekelompok
manusia dapat saling memberikanADL.
4. ADD dan ADL terhadap diri sendiri serta ADL
dari luar diri sendiri terus menerus berinteraksi yang menghasilkan
perkembangan pada diri individu.
Ciri-ciri ADD dan ADL seperti itulah kiranya yang membedakan
secara amat tajam antara manusia dan bukan manusia sebagai makhluk Tuhan. Lebih
dari makhluk – makhluk lainnya, manusia adalah makhluk yang tertinggi derajatnya.
Ketertinggian derajat ini diperlengkapi dengan lima dimensi kemanusiaan yang
melekat pada diri setiap insan, yaitu:
1. Dimensi fitrah (dimfit).
2. Dimensi keindividualan (dimin).
3. Dimensi kesosialan (dimsos).
4. Dimesi kesusilaan (dimsus).
5. Dimensi keberagaman (dimag).
C. Asumsi
perilaku bermasalah
Permasalahan yang dialami oleh
seorang individu terwujud di dalam
tingkah lakunya. Ukuran kebermasalahannya tingkah laku individu diadu kepada
nilai-norma- dan moral yang berlaku pada kehidupan sosio-budaya di lingkungannya.
Memperhatikan dimensi 5x5x5 diatas, maka dapat diketahui bahwa akar dari
permasalahan individu adalah kualitas pancadaya yang telah terkembangkan ,
likuladu, dan masidu, yaitu:
· Ketaqwaan yang terputus.
· Daya cipta yang lemah.
· Daya rasa yang tumpul.
· Daya karsa yang mandeg.
· Daya karya yang mandul.
· Gizi yang rendah.
· Pendidikan yang macet.
· Sikap dan perlakuan yang menolak dan
kasar.
· Budaya yang terbelakang.
· Kondisi insidental yang merugikan.
· Rasa aman yang terancam.
· Kompetensi yang mentok.
· Aspirasi yang terkungkung.
· Semangat yang layu.
· Kesempatan yang terbuang.
Secara umum keadaan pancadaya,
likuladu dan masidu yang tidak atauvkurang menguntungkan akan menimbulkan
permaslahan pada diri individu.dari pad itu, pengaruh likuladu dan masidu
bersifat lebih langsung daripada pancadaya dan lebih khusus lagi, pengaruh
masidu lebih langsung daripada likuladu terhadap permasalahan individu.
D. Tujuan konseling pancawaskita
Menurut Prayitno (1988: 21)
Konseling pancawaskita mempunyai tujuan yaitu terbangunnya gatra baru melalui
pengungkapan, analisis, pemaknaan secara tepat dan positif terhadap Arti Dari
Dalam (ADD), Arti Dari Luar (ADL), Keberadaan yang Sedang Ada (KSA), serta
pembinaan Keberadaan yang Sedang Ada (KSA) baru dengan memperhatikan Keberadaan
yang Mungkin Ada (KMA) positif yang ada pada diri klien.
E. Peran konselor dalam koseling pancawaskita
Dalam konseling eklektik konselor
mengarahkan usahanya kepada berbagai aspek pada diri klien yang menjadi fokus
penggarapan oleh penedekatan-pendekatan konseling yang berbeda.
Prayitno (1988: 32) menjelaskan
masalah klien yang mengemukakan dalam konseling dapat menyangkut satu atau
lebih fokus beberapa pendekatan. Dalam proses investigasi dan interpretasi
konselor dapat mengungkapkan fokus tersebut dengan sangkut paut Masidunya.
Dengan teknik yang tepat, konselor menyelenggarakan intervensi untuk mendorong
Masidu menjadi lebih positif. Lebih jauh, siswa diharapkan dapat memerdekakan
dan membangun dirinya.
Konselor dalam konseling
pancawaskita mengarahkan usahanya kepada berbagai aspek pada diri siswa yang
menjadi fokus penggarapan oleh pendekatan-pendekatan konseling seperti motivasi
belajar rendah, dalam Masidu adalah semangat yang layu dengan mengubah gatra lama menjadi gatra baru
yaitu munculnya semangat dalam belajar yang tinggi. Dalam proses investigasi
dan interpretasi konselor dapat mengungkap fokus tersebut dengan sangkut paut
Masidunya dengan teknik yang tepat serta mendorong Masidu menjadi lebih positif
lebih jauh klien diharapkan dapat memerdekakan dan membangun dirinya.
F. Deskripsi
Proses Konseling Pancawaskita
Proses konseling setiap kali
dipenuhi dengan berbagai gatra, khususnya berkenaan dengan aspek – aspek
tingkah laku klien yang menjadi fokus penanganan konseling. Gatra yang berupa
tindakan yang salah suai (tindakan yang menyimpang), pola pikir tidak rasional,
perasaan berdosa, tidak naik kelas, keadaan ditinggal pacar, misalnya merupakan
gatra – gatra yang perlu mendapat perhatian penuh dalam konseling. Demikian
pula gatra – gatra yang lebih bersifat positif, seperti mendapat juara kelas,
IQ 130, berparas cantik, tidak pernah sakit keras, rajin sholat.
Dalam menyikapi dan menangani
gatra – gatra tersebut,
pertama – tama yang harus
dilakukan oleh konselor adalah memandangnya sebagai sisi tertentu yang penuh
arti dari diri klien, yang tidak boleh diabaikan begitu saja.
Kedua, ADD gatra tersebut perlu
dikaji sehingga terungkap dan disadari oleh klien, serta selanjutnya kepadanya
diberikan ADL yang tepat dan positif sehingga semuanya bermakna cukup kuat bagi
pengembangan kemandirian klien.
Ketiga, terhadap KSA yang
merupakan perwujudan gatra yang menjadi fokus konseling diberikan makna yang
tepat dan positif dengan mengantisipasi KMA-nya.
Keempat, pemaknaan KSA dengan
mengantisipasi KMA-nya itu secara langsung mengarah kepada penampilan KSA baru
sebagai realisasi KMA positif yang terkandung didalam gatra yang dimaksud.
Kelima, dalam proses
pengungkapan, analisis, pemaknaan dan pembinaan itu memungkinkan diterapkannya
berbagai pendekatan dan teknik konseling.
Kelima langkah dalam konseling
tersebut diatas merupakan proses penggatraan gatra melalui pendekatan konseling
eklektik. Gatra – gatra (lama) yang semula muncul setelah diproses dalam
konseling diubah atau dikembangkan menjadi gatra – gatra baru yang lebih
menunjang kemandirian klien seperti:
Gatra Lama
Gatra Baru
· Tindakan salah suai
· Pola pikir tidak rasional
· Perasaan berdosa
· Tidak naik kelas
· Ditinggal pacar
· Juara kelas
· IQ 130
· Berparas cantik
· Tidak pernah sakit keras
· Rajin sholat
Tindakan yang lebih efektif dan
efisien.
Pola pikir rasional.
Suasana bertobat.
Kemauan untuk belajar lebih
keras, dikuasainya keterampilan belajar yang lebih efektif.
Sabar dan tawakal, lebih percaya
diri.
Semangat bersaing secara sehat
dalam belajar.
Lebih giat belajar.
Bersyukur kepada Tuhan YME, upaya
meningkatkan femininitas lebih hati – hati menjaga diri.
Bersyukur dan lebih giat bekerja.
Lebih banyak berdo’a, bekerja dan
beramal.
Paradigma penggatraan gatra itu
menuntut keluasan wawasan, kedalaman dan ketajaman analisis gatra lama, serta
ketepatan antisipasi dan pembinaan gatra baru. Sejalan dengan itu, pendekatan
eklektik dalam proses konseling menuntut kedalaman dalam pemahaman berbagai
teknik konseling dan penerapannya. Konselor sepenuhnya bertanggung jawab atas
ke dua tuntutan tersebut. Tuntutan pertama menyangkut isi konseling, sedangkan
tuntutan kedua berkenaan dengan metodologi konseling.
Konseling merupakan proses
sinergik untuk mengoptimalkan energi pada diri klien dalam rangka pengembangan
dan pemecahan masalah klien. Gatra – gatra yang ada pada saat memasuki dan
menjalani konseling diproses menjadi gatra – gatra yang lebih positif kepada
kualitas pancadaya dan likuladu.
Konseling yang lengkap meliputi
lima proses yaitu:
b. Proses pengantaraan (introduction).
Proses pengantaraan ini mengantarkan
klien memasuki kegiatan konseling dengan segenap pengertian, tujuan, dan asas
yang menyertainya. Proses pengantaraan ini ditempuh melalui kegiatan penerimaan
yang bersuasana hangat, permisif, dan KTPS (”klien tidak pernah salah”), serta
penstrukturan. Apabila proses awal ini sukses, klien akan mampu menjalani
proses konseling selanjutnya dengan hasil yang lebih menjanjikan.
c. Proses penjajagan (investigation).
Proses penjajagan ini dapat diibaratkan
sebagai membuka dan memasuki ruangan sumpek atau hutan belantara yang berisi
gatra – gatra klien bersangkut – paut dengan perkembangan dan permasalahannya.
Sasaran penjajagan adalah hal – hal yang dikemukakan klien dan hal – hal yang
perlu dipahami tentang diri klien. Seluruh sasaran penjajagan ini adalah
sebagai gatra yang selama ini terpendam, tersalahartikan dan / atau pun
terhambat pengembangannya pada diri klien.
d. Proses penafsiran (interpretation).
Apa yang terungkap melalui penjajagan
merupakan berbagai gatra yang perlu diartikan. Gatra-gatra klien itu (yang
cukup signifikan) perlu diketahui ADD-nya secara tepat dan diberikan ADL-nya
secara positif, dinamis dan tepat pula. Gatra yang besar diurai menjadi gatra yang
lebih kecil, sebaliknya sejumlah gatra dirangkum menjadi gatra yang lebih luas;
gatra yang satu dikaitkan dan di lihat relevansinya dengn gatra atau
gatra-gatra lainnya. Hasil proses penafsiran ini pada umumnya adalah aspek –
aspek KSA dan KMA pada diri klien dengan jelas, tepat dan terjangkau segi –
segi dinamikanya. Dalam rangka penafsiran ini, upaya diagnosis dan prognosis
dapat memberikan manfaat yang berarti.
e. Proses pembinaan (intervension)
Proses pembinaan ini secara langsung
mengacu kepada pengentasan masalah dan pengembangan diri klien. Upaya pembinaan
diarahkan bagi terwujudnya KMA yang telah dihasilkan melalui proses
interpretasi. Arah dan sasaran jangka pendek dan langsung pembinaan adalah
terkembangkannya masidu yang lebih memandirikan dan membahagiakan klien dan
lingkungannya serta produktif. Dengan berbagai teknik khusus dalam konseling
sasaran jangka pendek itu didorong pencapaiannya. Lebih jauh, sedapat –
dapatnya proses konseling hendaknya juga mampu menyentuh likuladu yang besar
pengaruhnya terhadap kehidupan klien. Karena likuladu pada umumnya tidak dapat
langsung terjangkau oleh proses konseling yang terwujud dalam pertemuan tatap
muka antara klien dan konselor, maka pembinaan terhadap likuladu itu biasanya
terlaksana melalui pendekatan ”politik”. Pembinaan terhadap masidu dan likuladu
itu diharapkan juga meningkatkan pencadaya klien. Melalui pembinaan dalam
konseling, gatra – gatra lama diproses menjadi gatra – gatra baru yang lebih
memungkinkan berfungsinya energi pada diri klien secara optimal.
f. Proses penilaian / pengembangan
(inspection)
Upaya pembinaan melalui konseling
diharapkan menghasilkan hal – hal ataupun perubahan yang berguna bagi klien,
khususnya berkenaan dengan masidu. Lebih konkrit lagi, hasil – hasil tersebut
hendaknya berapa meningkat dan semakin efektifnya wawasan, pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap bagi kehidupan klien dalam lingkungan lirahid.
Kadar perubahan yang terjadi pada diri klien dapat diungkapkan atau dinilai
segera menjelang akhirnya proses konseling, dalam jangka pendek beberapa hari
kemudian, atau dalam jangka waktu yang lebih panjang. Ketika proses konseling
akan segera diakhiri, misalnya konselor dapat menanyakan kepada klien beberapa
hal yang merupakan buah dari proses yang baru saja berlangsung, yaitu
pengetahuan, atau informasi baru apa yang diperoleh klien, bagaimana perasaan
klien (apakah tambah ringan, relaks, terbebas dari himpitan yang memberatkan
atau menyesakkan, dan sebagainya) serta kegiatan apa yang akan dilakukan klien
untuk menindaklanjuti hasil – hasil konseling yang telah tercapai. Sedangkan,
penilaian pasca konseling yang lebih jauh, baik dalam jangka pendek (beberapa
hari) maupun yang lebih panjang, mengacu kepada pemecahan masalah dan
perkembangan klien secara lebih menyeluruh.
Setiap penilaian, baik diakhir proses
konseling, jangka pendek maupun jangka panjang, perlu diikuti tindaklanjutnya
demi keberhasilan klien yang lebih jauh. Tindak lanjut itu dapat mencegah perlu
diadakannya konseling lanjutan, penerapan pendekatan dan teknik – teknik lain
dalam proses konseling, ditampilkannya materi bahasan yang baru dan / atau
lebih mendalam, dan nilai sebagainya, serta bila diperlukan tindak lanjut yang
berupa alih tugas khusus.
Sasaran kelima proses itu adalah gatra –
gatra yang ada pada diri individu (klien) berkenaan dengan tingkah lakunya yang
bermasalah dengan segenap latar belakang dan sangkut pautnya.
G. Teknik-teknik dalam Konseling Pancawaskita
1. Teknik umum meliputi pokok – pokok:
· Penerimaan terhadap klien (manklien).
· Sikap dan jarak duduk (sjduk).
· Kontak mata (konmat).
· Tiga M (mendengar dengan baik,
memahami secara tepat, serta merespon secara tepat dan positif) (Tiga M).
· Kontak psikologis (konpsik).
· Penstrukturan (struk).
· Ajakan untuk berbicara (ajbir).
· Pertanyaan terbuka (tabuk).
· Refleksi: isi dari perasaan (ref).
· Keruntutan (runtut).
· Penyimpulan (pul).
· Penafsiran (afsir).
· Konfrontasi (fron).
· Ajakan untuk memikirkan sesuatu yang
lain (kirlan).
· Peneguhan hasrat (husrat).
· “penfrustasian” klien (frus).
· Strategi “tidak memanfaatkan” klien
(tmaf).
· Suasana diam (sudim).
· Tranferensi dan kontra-tranferensi
(trans dan konstran).
· Teknik eksperimental (eksper).
· Interpretasi pengalaman masa lampau
(imaslam).
· Asosiasi bebas (asbas).
· Sentuhan jasmaniah (senjas).
· Penilaian (lai).
· Penyusunan laporan (lap).
2. Teknik khusus meliputi pokok – pokok:
· Pemberian informasi (inf).
· Pemberian contoh (con).
· Pemberian contoh pribadi (conpri).
· Perumusan tujuan (tuj).
· Latihan penenangan: sederhana dan penuh
(tinang).
· Kesadaran tubuh (sadbuh).
· Disenstisisasi dan sensitisasi
(desensit dan sensit).
· Kursi kosong (kurkos).
· Permainan peran dan permainan dialog
(mairan dan mailog).
· Latihan keluguan (tilug).
· Latihan seksual (tisek).
· Latihan transaksional (sisran).
· Analisis gaya hidup (sisgahid).
· Kontrak (trak).
· Pemberian nasihat (nas).
Teknik – teknik tersebut dipilih
dan ditetapkan sesuai dengan keunikan klien dengan masalah dan perkembangannya,
sejak awal sampai diakhrinya proses konseling. Meskipun teknik – teknik
tersebut pada umumnya dipergunakan dalam konseling perorangan namun banyak
diantaranya yang cukup efektif bila dimanfaatkan dalam konseling kelompok.
Dalam konseling eklektik konselor
mengarahkan usahanya kepada berbagai aspek pada diri klien yang menjadi fokus
penggarapan oleh pendekatan – pendekatan konseling yang berbeda seperti:
a. Mengangkat materi ketidak sadaran yang
menyebabkan tingkah laku salah suai ke kesadaran (konseling psikoanalitik
klasik).
b. Memperkuat fungsi ego (konseling ego).
c. Mengatasi inferioritas menuju
superioritas (konseling psikologi individual).
d. Mengembangkan transaksi yang sejajar,
positif, dan produktif (konseling analisis transaksional).
e. Memperkuat dan mengembangkan self
(konseling self).
f. Membangun integrasi kepribadian
(konseling gestalt).
g. Mengubah tingkah laku salah suai
(konseling behavioral).
h. Mengembangkan tingkah laku yang benar,
bertanggung jawab, dan sesuai dengan kenyataan (konseling realitas).
i. Mengganti belief irrational menjadi
belief rational (konseling rasional – emotif).
H. Kelebihan dan Keterbatasan
Kelebihannya:
· Guru pembimbing atau konselor dapat
memperoleh alternative pemecahan masalah siswa dengan penerapan konseling
pancawaskita untuk menangani motivasi belajar rendah.
· Dapat digunakan sebagai masukan bagi
siswa tentang pentingnya motivasi belajar.
· Konseling pancawaskita merupakan salah
satu pendekatan yang didasarkan pada berbagai konsep dan tidak berorientasi
pada satu teori eksklusif tetapi merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang
diambil dan dipilih dari beberapa konsepsi serta pendekatan atau disebut
konseling elektrik dalam mengintegrasikan factor yang dipengaruhi individu.
Kelemahannya:
· Kurangnya pemahaman tentang konseling
pancawaskita sehingga masih jarang digunakan
dalam proses konseling dilapangan.
· Belum banyak yang mengembangkan konsep ini sehingga
referensi terbatas
· Intrepretasi dari konseling
Pancawaskita dalam dunia pendidikan kurang begitu diminati oleh sebagian besar
para konselor karena terlalu rumit dalam pemahaman serta penerapnnya.
I. Aplikasi dan Penerapan Konseling
Pancawasita
Gatra dengan Arti Dari Dalam
(ADD) dan Arti Dari Luar (ADL) yang luar biasa. Individu merupakan sumber
energi apabila dikembangkan sebesar-besarnya akan dapat bermanfaat bagi diri
individu itu sendiri, individu lain dan lingkungannya. Mengembangkan kekuatan
pada diri individu untuk mampu memerdekakan dari lingkungan yang menyesatkan
itu. Ia harus mampu memproklamasikan kemerdekaan diri dari penjajahan kekuatan
destruktif masidu, likuladu, dan masalah yang diidapnya.
Dengan demikian, konseling
mendorong terjadinya pembebasan yang memungkinkan individu mengaktifkan
potensi/energi yang ada pada dirnya. Setelah proklamasi terjadi, maka konseling
membawa individu kearah pembangunan diri bagi kemandiriannya, dengan
dimanfaatkan sebesar-besarnya potensi/energi, baik yang ada pada diri individu
maupun diluarnya.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Konselor profesional dituntut
mengintegrasikan lima faktor yang mempengaruhi perkembangan dan kehidupan
individu yaitu pancasila, pancadaya (Takwa, Cipta, Rasa, Karsa, Karya), lirahid/ lima ranah kehidupan (Jasmanah-rohaniah, social-material,
Spiritual dunia, akherat, lokal-global/universal), lika lidu/ lima kekuatan di
luar individu( gizi, pendidikan, sikap, perlakuan orang lain, budaya dan
kondisi insidensial), dan masidu/lima kondisi yang ada pada diri individu (rasa
aman, kompetensi, aspirasi, semangat, pengunaan kesempatan).
Teknik – teknik dalam kegiatan
konseling yang digunakan adalah teknik secara umum dan secara khusus. Sedangkan
proses dalam kegiatan konseling antara lain proses pengantaraan, proses
penjajagan, proses penafsiran, proses pembinaan, dan proses penilaian. Tujuan
pancawaskita yaitu terbangunnya gatra baru melalui pengungkapan, analisis,
pemaknaan secara tepat dan positif terhadap Arti Dari Dalam (ADD), Arti Dari
Luar (ADL), Keberadaan yang Sedang Ada (KSA), serta pembinaan Keberadaan yang
Sedang Ada (KSA) baru dengan memperhatikan Keberadaan yang Mungkin Ada (KMA)
positif yang ada pada diri klien.
B. Kritik dan Saran
Dalam konsep konseling
pancawaskita ini terlalu banyak teknik yang digunakan sehingga cenderung
membingungkan. Selain itu belum adanya orang lain yang mengembangkan teori ini
sehingga hanya terbatas referensinya yaitu pada Prof. Prayitno saja.
Saran kami Dalam proses pembuatan
makalah ini diharapkan para guru pembimbing (konselor) mampu memahami tentang
pendekatan konseling Pancawaskita sehingga mampu menjadi alternatif dalam
konseling nantinya. Dalam hal ini, konselor profesional dituntut
mengintegrasikan lima faktor yang mempengaruhi perkembangan dan kehidupan
individu, yaitu Pancasila, Pancadaya, Lirahid, Likuladu, dan Masidu.
Selain itu, konselor juga harus
memahami tentang hakekat kepribadian dari pancawaskita, arti dari gatra, macam
– macam proses dalam kegiatan konseling,asumsi perilaku dan teknik – teknik
yang digunakan dalam kegiatan konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Prayitno. 2005. Konseling
Pancawaskita. Padang : Universitas Negeri Padang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar